Pada dasarnya bukan dunialah yang absurd, tetapi manusia tu sendiri. Manusialah yang membuat dunia ini menjadi absurd. Absurd di sini berarti kekacaubalauan ruang mental karena keterbatasan nalar untuk mengungkapkan tentang kejelasan sebuah situasi. Absurd adalah konfrontasi antara keadaan tak rasional dan hasrat yang tak terbendung kejelasan yang gemanya bergaung di relung hati manusia yang paling dalam. Absurd adalah pertentangan antara manusia dengan dirinya sendiri. Pertentangan antara kemauannya yang lebih dengan keterbatasan-keterbatasan dalam dirinya sendiri.
Dave Pelzer membuka kotak Pandora, membongkar ruang rahasia pribadinya. Tapi ia termasuk yang brilliant. Ia tidak hanya menuturkan dengan jujur tetapi juga dikemas dalam bentuk yang menarik sebagai sebuah otobiografi.
Kejujuran yang dikisahkan Dave Pelzer patut kita hargai. Ia mengetengahkan tentang moralitas keluarga. Mungkin lebih tepat disebut sebagai sebuah teguran kepada manusia yang disebut sebagai orang tua. Memang tampak pincang, karena sasarannya lebih pada orang tua bukan kepada keduanya, yakni anak dan orang tua. Tapi sanggahan akan muncul ketika sang anak akan menuntut ?mengapa kamu harus mengatasnakaman cinta melalui aku. Jika memang benar bahwa aku adalah peleburan dua bara nafsu iblis, maka pantas aku disenyapkan dalam penderitaan. Tetapi karena aku adalah kuntum cinta yang untuh yang kamu semaikan dalam persanggamahanmu yang suci, maka aku seharusnya diselamatkan?
Meminjam bahasa John Locke seorang anak ibarat dengan sebuah dunia tabula rasa. Artinya seorang anak adalah kertas putih yang diharapkan agar lingkungan, lebih-lebih orang-orang terdekat yakni orang tua, menuliskan kepadanya tentang kebahagiaan sebuah kehidupan, makna sebuah pembebasan dalam hidupnya, nilai-nilai yang nantinya akan mengrucut pada kebenaran (moralitas) bukan sebaliknya.
Dave Pelzer adalah pribadi yang punya cacat pusaka penuh air mata. Kertas putih kehidupannya penuh coretan hitam tanpa makna, selain sepi di sampah penderitaan. Lantaran itu, entah sebagai sebuah protes, sebuah pelampiasan ketidakpuasan, sebagai penyesalan lantas Trilogi di atas dilahirkan.
Tapi bagi saya trilogi kehidupan tersebut adalah kisah tentang absurditas manusia. Itu saja, mengapa demikian?
Albert Camus, dramawan besar yang pernah melahirkan karya Caligula, dalam Absurditas-Mite Sisifus, mengatakan bahwa dunia dan semesta pada dasarnya adalah absurd. Lantaran itu manusia terseret di dalamnya. Kehadiran manusia adalah untuk memberi harmoni atas absurditas tersebut.
Tapi bagiku tidak. Mengkuti Budi Darma dalam Olengka (1983) bahwa Yang absurd sebenarnya adalah manusia. Manusia dalam segala potensinya amat rentan untuk menciptakan sebuah chaos. Sebab paling dasariah adalah karena nafsu (yang mewujud dalam egoisme dan indivdualisme) dan pendewaannya pada ratio, dan pelupaan pada ruang ?diam? dalam hatinya. Sementara dalam ruang ?diam? itulah sesuatu yang aktif-kreatif dilahirkan setelah melalui sebuah proses pasif-reflektif. Kedua proses ini adalah sebuah proses yang bergerak siklis.
Ketidakberhasilan manusia untuk memaknai hidup ini adalah karena peniadaannya atas proses pasif-reflektif tersebut. Sehingga tampak pincang dalam memaknai hidup. Lantaran itu, manusia berseliweran di jalur yang tidak jelas arahnya. Kepentingan dan kehendak drinya yang sulit ditebak melahirkan kepentingan yang saling berbenturan. Manusia terhempas dan terjebak pada sebuah utopia, sebuah mimpi yang sulit untuk diwujudkan.
Kesadaran yang digemakan sebagai roh dan nadi ternyata mengarahkannya pada ketakbersasaran. Maka tepatlah kalau Budi Hardiman dan Positivisme Melampaui Modernitas (Kanisius:2003) serta merta menuduh kalau kesadaran manusia abad ini telah mengarahkan dirinya pada sasaran yang tak bersarang.
Absurd memang. Dan yang paling nyata adalah hilangnya moralitas. Dan kalaupun ada moralitas semacam itu hanya tameng dari sebuah kepentingan tertentu dalam berelasi. Pudarnya moralitas tidak hanya dirasakan dan dialami di ruang publik (sosial masyarakat), tetapi juga di ruang privat yang bernama keluarga. Moralitas hilang tidak hanya antara ?kalian? dan ?kami? yang tidak berkait paut menjadi ?kita?. Tetapi juga dalam dan antara ?kami? yang intim karena hidup dari satu plasenta-darah dan daging- yang sama.
Ini juga adalah absurd. Jika ruang intim digadaikan dengan egoisme, keluarga yang merupakan rahimnya seorang anak mengenal dunia kebebasan direduksi menjadi penjara, sudah barang tentu apa yang kita sebut sebagai moralitas keluarga yang terwujud dalam kasih persaudaraan antara anak dan orang tua tak akan pernah ada. Bahkan sebaliknya yang muncul adalah perpecahan, penindasan, pemerkosaaan atas hak (asasi) kemanusiaan.
Dave Pelzer adalah anak dari situasi tersebut. Ia terlempar dari ruang perhatian dan cinta kasih ke tempat paling sumpek, yang penuh sesak dengan kepentingan, penderitaan, dan kebanjiran air mata. Triloginya melukiskan absurditas manusia. Bahwa moralitas tidak hanya menjadi pudar tapi seratus persen telah hilang.
A child call ?it? adalah pengelakan atas pengakuan sebagai manusia yang seharusnya bernama. Di sana cinta digantikan dengan ?-nya?, ?itu?, sesuatu yang lain, yang lebih pantas dikenakan pada benda tak bernyawa. Cinta direduksi menjadi sekedar alat dan tameng.
The lost boy adalah penghilangan total atas cinta. Cinta dihilangkan dalam nafsu, individualisme, dan egoisme orang tua. Barulah pada A man named Dave kita temukan bahwa kebenaran tak akan pernah dapat dilenyapkan. Cinta selalu menang. Deve Pelzer adalah cinta yang seharusnya dihargai, diperhatikan. Cinta tak akan pernah mati.
Terang benderang di hadapan kita bahwa dalam absurditas, yang dipertentangkan bukanlah manusia dengan lingkungan eksternal (dunia) seperti yang dikatakan Albert Camus, tetapi sebenarnya adalah manusia dengan dirinya sendiri. Manusia dilemparkan ke dalam dunia untuk menentramkan dirinya agar tidak terjebak dalam absurditas.
Ini sebuah paradoks. Ini fenomena kekal yang melekat pada setiap manusia. Menghilangkannya adalah tidak mungkin. Tetapi menyadari bahwa manusia adalah absurd dan memahaminya saya kira sudah cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar