Jumat, 10 Agustus 2012
Cerita Om Mario Kecil
Mario Kecil
TIDAK HAFAL ADZAN, DISURUH DUDUK LAGI.
Saat itu saya kelas 4 di SD Poerwantoro - Malang, dan Ibu menyuruh saya belajar mengaji di surau kecil di kampung sebelah.
Setiap sebelum Maghrib, saya sudah berdebar gelisah, karena jarak yang kira-kira 600 meter dari rumah ke surau - bagi anak sekecil itu - cukup jauh, melalui sawah, yang kalau malam gelap dan mengerikan.
Sesampai di surau, Pak Ustad menyuruh saya adzan. Awalnya saya menolak, karena saya belum pernah melakukannya, dan yang terbayang di benak kecil saya saat itu - seluruh kampung berhenti melakukan apa pun untuk mendengarkan adzan saya yang fals.
Ooh .. kaki saya gemetaran, jantung sudah di leher, bibir jalan-jalan sendiri ke mana-mana, tapi apa daya … Pak Ustad memaksa.
Saya berdiri seperti wayang kulit ditiup angin, dan mengeluarkan semua 'tenaga dalam' yang sudah gembos sejak tadi itu - untuk mulai melantunkan adzan.
Sejenak setelah saya mulai, terdengar kegelisahan di dalam surau, dan Pak Ustad menowel kaki saya, dan berbisik: Heh … salah. Ulangi …"
Saya memulai lagi, Pak Ustad nowel lagi. Saya coba lagi lebih keras, Pak Ustad nowel lebih keras. Saya coba lagi sangat keras, Pak Ustad menarik sarung saya dan memaksa saya duduk.
Ooh … dunia ini terasa sangat kejam kepada anak kecil yang ketakutan dan terpaksa.
Seorang anak kecil yang lain di suruh Pak Ustad berdiri menggantikan saya, yang dengan fasih dan indah melantunkan adzan di Maghrib yang galau itu.
Teman saya itu juara ngaji di surau itu, dan mungkin sekarang sudah jadi anggota MUI.
Saya berjalan gontai, lupa akan semua hantu dan jin yang selama ini memomoki pikiran kecil saya - setiap saya menembus jalan di tengah sawah yang gulita itu.
Di rumah, Ibu bertanya: Lasise', kenapa kamu diam?
Saya menggeleng dengan wajah yang hampir robek dengan tangis. Saya masuk kamar dan menangis, merasa demikian rendah karena gagal di hadapan seluruh kampung.
Hati saya yang masih kecil itu berdoa, semoga saya akan menjadi lebih kuat menghadapi kegagalan dan kekecewaan saat saya dewasa nanti.
Dan saya berjanji, tidak akan berlaku kasar dan semena-mena menggampangkan kesedihan anak-anak saya di masa depan, saat mereka merasa kecewa karena kegagalan.
Orang tua tidak boleh menyepelekan rasa kecewa anak kecil, karena bagi anak kecil - kekecewaan mereka terasa lebih besar daripada kekecewaan orang dewasa.
Setelah kejadian yang memalukan di surau itu, saya tetap melakukan kesalahan dan gagal dalam banyak hal, menyesal dan menangis, terkadang bersembunyi menanggung malu, tapi saya seperti bola bekel - tetap melanting naik setelah jatuh, dan semakin tinggi lantingan saya - jika saya dibanting.
Ternyata, bukan jatuhnya yang penting, tapi bangkitnya.
Ternyata, semakin keras bantingan hinaan kepada kita, semakin tinggi kita dinaikkan oleh Tuhan - jika kita ikhlas.
Sayangilah anak-anak kecil.
Merekalah tempat kita bersandar di masa tua.
Jumat, 03 Agustus 2012
Kata Om Mario
Ketahuilah bahwa engkau adalah kekasih Tuhan.
Tuhan sangat mencintaimu. Dan bukankah sebetulnya hatimu mengetahui hal itu?
Tetapi mungkin kesulitan dalam hidupmu telah mendorongmu untuk mempertanyakan kasih sayang Tuhan. Meskipun sebetulnya engkau tahu, bahwa engkau adalah pemeran utama dalam pemudahan atau penyulitan hidupmu sendiri.
Engkau memperhatikanNya atau tidak, Tuhan tetap memperhatikanmu.
Engkau meminta atau tidak, Tuhan tetap memberimu.
Tetapi ini yang harus kau ingat, bahwa
Jika engkau ingin Tuhan melebihkan perhatianNya kepadamu, lebihkanlah perhatianmu kepadaNya.
Jika engkau ingin Tuhan melebihkan pemberianNya kepadamu, lebihkanlah alasan bagi kelebihan penerimaanmu.
Dan,
Jika engkau ingin Tuhan melayanimu, layanilah sesamamu.
Bahagiakanlah orang tuamu, jika engkau ingin menjadi anak yang berbakti.
Bahagiakanlah belahan jiwamu dan anak-anakmu, jika engkau ingin menjadi pengindah kehidupan keluarga.
Bahagiakanlah sahabat, atasan, kolega, dan pelangganmu, jika engkau ingin menjadi pelayan publik yang bernilai.
Jadilah sebaik-baik manusia, yaitu yang bermanfaat bagi sesama.
Semoga dengannya engkau dimuliakan dalam kehidupan yang damai, yang berbahagia dan berezeki baik.
Aamiin
Tuhan sangat mencintaimu. Dan bukankah sebetulnya hatimu mengetahui hal itu?
Tetapi mungkin kesulitan dalam hidupmu telah mendorongmu untuk mempertanyakan kasih sayang Tuhan. Meskipun sebetulnya engkau tahu, bahwa engkau adalah pemeran utama dalam pemudahan atau penyulitan hidupmu sendiri.
Engkau memperhatikanNya atau tidak, Tuhan tetap memperhatikanmu.
Engkau meminta atau tidak, Tuhan tetap memberimu.
Tetapi ini yang harus kau ingat, bahwa
Jika engkau ingin Tuhan melebihkan perhatianNya kepadamu, lebihkanlah perhatianmu kepadaNya.
Jika engkau ingin Tuhan melebihkan pemberianNya kepadamu, lebihkanlah alasan bagi kelebihan penerimaanmu.
Dan,
Jika engkau ingin Tuhan melayanimu, layanilah sesamamu.
Bahagiakanlah orang tuamu, jika engkau ingin menjadi anak yang berbakti.
Bahagiakanlah belahan jiwamu dan anak-anakmu, jika engkau ingin menjadi pengindah kehidupan keluarga.
Bahagiakanlah sahabat, atasan, kolega, dan pelangganmu, jika engkau ingin menjadi pelayan publik yang bernilai.
Jadilah sebaik-baik manusia, yaitu yang bermanfaat bagi sesama.
Semoga dengannya engkau dimuliakan dalam kehidupan yang damai, yang berbahagia dan berezeki baik.
Aamiin
Petinju
Seorang Ibu Guru mendengar seorang murid play group-nya sedang menasihati temannya:
“Kita itu ya, lebih baik memberi daripada diberi.”
Sang Ibu Guru tersentak kaget, mendengar anak umur 4 tahun bisa berbicara sebijak itu, dan dia bertanya:
Nak, siapa yang mengajarimu berbicara sebaik itu?
Bapak.
Oh? Bapakmu apa pekerjaannya? Apakah dia tokoh agama?
Bukan.
Guru?
Bukan.
Motivator?
Bukan.
Ibu Guru jadi tidak sabaran, dan memperjelas pertanyaannya.
Jadi, bapakmu itu pekerjaannya apa?
Petinju.
Bapak bilang, kita lebih baik memberi daripada diberi.
“Kita itu ya, lebih baik memberi daripada diberi.”
Sang Ibu Guru tersentak kaget, mendengar anak umur 4 tahun bisa berbicara sebijak itu, dan dia bertanya:
Nak, siapa yang mengajarimu berbicara sebaik itu?
Bapak.
Oh? Bapakmu apa pekerjaannya? Apakah dia tokoh agama?
Bukan.
Guru?
Bukan.
Motivator?
Bukan.
Ibu Guru jadi tidak sabaran, dan memperjelas pertanyaannya.
Jadi, bapakmu itu pekerjaannya apa?
Petinju.
Bapak bilang, kita lebih baik memberi daripada diberi.
Langganan:
Postingan (Atom)